Senin, 27 Agustus 2018

Kau.

Tidak Semua Dia adalah Kamu, dan Aku adalah Saya.


Kau diingatnya sebagai pelapor nomor satu.
Seseorang yang suka bercerita untuk memberitahu segala hal padanya.

Kau diingatnya sebagai pemilik tawa paling renyah.
Seumpama bagai penguat bagi hatinya yang lemah.

Kau diingatnya sebagai orang yang pernah berjuang.
Salah satu yang pernah menjanjikan masa depan yang cemerlang.

Namun apalah daya, Tuhan belum mengizinkan keduanya hidup bersama.
Terpisah dengan jalannya.

"Kelak jika mungkin kau tak bahagia, beritahu aku.
Beritahu aku, jika ia tak mampu membuat mu bahagia."
Kalimat terakhir yang diiringi dengan linangan air mata, menjadi luka baginya.

Yang harus dibersamakan dengan nya, tak lebih dari sekedar manusia penuh amarah.
Penuh tipu daya, orang selalu menganggapnya yang paling mulia.
Berteori paling baik pada masa dan praktik paling buruk untuknya.

Ia selalu berusaha sebaik-baiknya pendamping.
Namun bagi manusia tak tahu diri, sudah dipilih, ia langsung berbangga hati.
Kejayaannya dimulai.
Ia terlena dan melangit, hingga hatinya tak utuh lagi. 
Terbagi-bagi bagai potongan jelly, menghianati bagai manusia paling tampan dimuka bumi.

Hingga jiwanya tak mampu lagi menahan perih.
Hatinya hancur menjadi serpih.
Kakinya hampir takmampu lagi berdiri.

Hingga dalam keputus-asaan. 
Ia ditemukan oleh bagian yang dijanjikan Tuhan untuk tetap disisinya.

Kau.

Kau adalah pemilik seluas-luasnya hati yang utama.
Penerima paling lapang dada yang begitu sempurna.
Dendam tak pernah kau letak disana.
Meski bahagia mu telah direnggut begitu saja dengan cuma-cuma dan kini di terlantarkan begitu saja.

Kau adalah sebaik-baiknya penepat janji yang utama.
Membuktikan bahwa kau adalah yang paling layak.
Memastikan bahwa kau akan selalu ada meski terpisah jauh dengan jarak.

Manusia itu tak berlama-lama dalam masanya,
hingga ia dibawa kembali ke titik paling bawah.
Terjerembab jauh. Terpuruk. 
Meringkuk. Membujuk.

Sesuai dugaannya, topeng.

Tak tau malu.
Sudah dibantu, ia masih merasa yang paling nomor satu.

Selesai sudah.
Rasanya, ia memiliki mu.
Tak mengapa melepaskan diri, bukankah begitu?

Sia-sia sudah.
Rasanya pada manusia itu telah tiada - lelah diinjak-injak dan kini waktunya.

Ia ingin bahagia.